Eka Putra Zakran, SH, MH.
Medan, NET24JAM.ID – Masih maraknya aksi premanisme, pungli dan pemerasan di Medan Sumatera Utara, belakangan ini terungkap setelah viral di media sosial baru ditangkap polisi mendapat tanggapan dari Eka Putra Zakran, SH., MH.
Pria yang akrab disapa Epza ini mengatakan, bahwa aksi premanisme yang disertai dengan ancaman dan tindakan kekerasan atau setidaknya ada tindakan main hakim sendiri (eigenrichting) adalah bertentangan dengan kaidah hukum yang berlaku.
“Konon lagi jika aksi premanisme disertai pula dengan pungutan liar (pungli) dan/atau pemerasan dengan cara kekerasan, jelas bertentangan ketentuan hukum yang berlaku,” ujar Epza kepada media, pada Jumat (8/10/2021).
Seperti diketahui, pelaku tindak pidana seperti premanisme yang disertai aksi pungli, pemerasan dan tindakan kekerasan dapat dijerat pasal pemerasan dan ancaman sebagaimana yang diatur dalam Pasal 368 ayat (1) KUHP yang berbunyi : “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun”.
“Nah, dari ketentuan Pasal 368 ayat (1) KUHP di atas maka tidak ada alasan untuk tidak menahan para pelaku tindak pidana premanisme disertai aksi pungli dan pemerasan. Bahkan jika perbuatan pelaku tersebut disertai tindakan kekerasan, maka sejatinya diterapkan hukuman berat, yaitu maksimal sembilan tahun,” paparnya.
Menurut pengamat hukum dan sosial Sumatera Utara tersebut, kasus premanisme disertai pungli dan kekerasan tapi viral dulu di medsos baru ditindak polisi hal itu sudah tidak benar, seharusnya aparat bertindak lebih cepat.
“Indonesia adalah negara hukum, jadi tidak dibenarkan adanya aksi premanisme, pungli dan kekerasan. Jika ada temuan atau laporan aparat harus segera bertindak. Jangan menunggu viral dari medsos ataupun sebagainya,” sebut Epza.
Oleh karena itu, masih kata Epza, kalau viral dulu baru bertindak, berarti kinerja aparat lemah. Sejatinya cepat tanggap, jadi ada kepastian hukum ditengah masyarakat.
“Kalau masih menunggu viral baru bertindak, tampak kali tindakan aparat hukum itu pasif dan terkesan hanya takut kepada atasan. Artinya, kalau demikian halnya, tentu jika tak viral, aparat tidak berbuat. Hemat saya perlu ada perubahan dalam konteks memberi pelayanan dan pengayoman kepada masyarakat,” ungkapnya.
Disamping itu, lanjut Epza, perlu menjadi catatan, bahwa para pelaku yang diduga melakukan tindak premanisme dan telah ditangkap harus diproses hukum. Jangan hanya disuruh meminta maaf. Walaupun misalnya ada permintaan maaf, proses hukum harus tetap jalan. Sehingga ada efek jera (Shock Teraphy).
“Jangan dibebaskan atau dilepaskan dari jerat hukum, itu catatan penting dalam konteks penegakan supremasi hukum,” tegasnya.
Penegakan supremasi hukum dimaksud artinya, menempatkan hukum pada posisi yang tinggi. Jika hukum ditempatkan sesuai porsinya, maka segenap kepentingan masyarakat akan terjamin dan terlindungi.
Apabila hukum diletakkan pada posisi yang tinggi, maka siapapun tidak berhak untuk melakukan intervensi terhadap upaya penegakan hukum tersebut, termasuk oleh pemerintahan berkuasa sekalipun.
“Kalau hal tersebut yang diterapkan, saya yakin bahwa asas persamaan setiap warga negara didepan hukum (aquality before the law) secara realitas dapat diterapkan,” Epza menandaskan.
(Ridwan)