Menu

Mode Gelap
Puluhan Tim Sepak Bola Antusias Ikuti Turnamen Solidaritas Cup U-13 Polda Sumut Diminta Tindak Lanjuti Kasus Dugaan Perampasan Lahan di Belawan KBPP Polri dan PP Polri Deklarasi Dukung Ganjar-Mahfud di Pilpres 2024 Tersangka Oknum PNS? Polres Sergai Berhasil Ungkap Penipuan Bekerja di PTPN III Kebun Tanah Raja M4il Hsb Sukses Buat Simalungun Daerah Bebas Judi Togel Hingga Kini Tak Tersentuh Hukum

Tak Berkategori · 8 Okt 2021 04:22 WIB · waktu baca : ·

Maraknya Aksi Premanisme di Medan, Epza : Setelah Viral Baru Ditangkap Polisi?


 Maraknya Aksi Premanisme di Medan, Epza : Setelah Viral Baru Ditangkap Polisi? Perbesar

Eka Putra Zakran, SH, MH.

Medan, NET24JAM.ID – Masih maraknya aksi premanisme, pungli dan pemerasan di Medan Sumatera Utara, belakangan ini terungkap setelah viral di media sosial baru ditangkap polisi mendapat tanggapan dari Eka Putra Zakran, SH., MH.

Pria yang akrab disapa Epza ini mengatakan, bahwa aksi premanisme yang disertai dengan ancaman  dan tindakan kekerasan atau setidaknya ada tindakan main hakim sendiri (eigenrichting) adalah bertentangan dengan kaidah hukum yang berlaku. 

“Konon lagi jika aksi premanisme disertai pula dengan pungutan liar (pungli) dan/atau pemerasan dengan cara kekerasan, jelas bertentangan ketentuan hukum yang berlaku,” ujar Epza kepada media, pada Jumat (8/10/2021).

Seperti diketahui, pelaku tindak pidana seperti premanisme yang disertai aksi pungli, pemerasan dan tindakan kekerasan dapat dijerat pasal pemerasan dan ancaman sebagaimana yang diatur dalam Pasal 368 ayat (1) KUHP yang berbunyi : “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun”.

Baca Juga:  AKABRI Alumni'89 Giat Vaksinasi Dan Gelar Baksos

“Nah, dari ketentuan Pasal 368 ayat (1) KUHP di atas maka tidak ada alasan untuk tidak menahan para pelaku tindak pidana premanisme disertai aksi pungli dan pemerasan. Bahkan jika perbuatan pelaku tersebut disertai tindakan kekerasan, maka sejatinya diterapkan hukuman berat, yaitu maksimal sembilan tahun,” paparnya.

Menurut pengamat hukum dan sosial Sumatera Utara tersebut, kasus premanisme disertai pungli dan kekerasan tapi viral dulu di medsos baru ditindak polisi hal itu sudah tidak benar, seharusnya aparat bertindak lebih cepat. 

Baca Juga:  Tragis!! Mr X Nekat Melompat dari Fly Over Amplas Medan

“Indonesia adalah negara hukum, jadi tidak dibenarkan adanya aksi premanisme, pungli dan kekerasan. Jika ada temuan atau laporan aparat harus segera bertindak. Jangan menunggu viral dari medsos ataupun sebagainya,” sebut Epza.

Oleh karena itu, masih kata Epza, kalau viral dulu baru bertindak, berarti kinerja aparat lemah. Sejatinya cepat tanggap, jadi ada kepastian hukum ditengah masyarakat.

“Kalau masih menunggu viral baru bertindak, tampak kali tindakan aparat hukum itu pasif dan terkesan hanya takut kepada atasan. Artinya, kalau demikian halnya, tentu jika tak viral, aparat tidak berbuat. Hemat saya perlu ada perubahan dalam konteks memberi pelayanan dan pengayoman kepada masyarakat,” ungkapnya. 

Disamping itu, lanjut Epza, perlu menjadi catatan, bahwa para pelaku yang diduga melakukan tindak premanisme dan telah ditangkap harus diproses hukum. Jangan hanya disuruh meminta maaf. Walaupun misalnya ada permintaan maaf, proses hukum harus tetap jalan. Sehingga ada efek jera (Shock Teraphy). 

Baca Juga:  Diduga Judi di Marelan Point Tak Tersentuh Hukum, Kinerja Tim Gabungan TNI-Polri Dipertanyakan

“Jangan dibebaskan atau dilepaskan dari jerat hukum, itu catatan penting dalam konteks penegakan supremasi hukum,” tegasnya.

Penegakan supremasi hukum dimaksud artinya, menempatkan hukum pada posisi yang tinggi. Jika hukum ditempatkan sesuai porsinya, maka segenap kepentingan masyarakat akan terjamin dan terlindungi.

Apabila hukum diletakkan pada posisi yang tinggi, maka siapapun tidak berhak untuk melakukan intervensi terhadap upaya penegakan hukum tersebut, termasuk oleh pemerintahan berkuasa sekalipun. 

“Kalau hal tersebut yang diterapkan, saya yakin bahwa asas persamaan setiap warga negara didepan hukum (aquality before the law) secara realitas dapat diterapkan,” Epza menandaskan.

(Ridwan)

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Paskas Ajak Masyarakat Kota Tebing Tinggi Untuk Bersedekah

27 November 2023 - 20:03 WIB

BNN Pinjam Pakai Gedung TC Sosial Untuk Tempat Rehabilitasi Penyalahgunaan Narkoba

5 Oktober 2023 - 11:25 WIB

Cabuli Anak Dibawah Umur Warga Naga Kesiangan Di Jemput Polisi Tebing Tinggi

5 Oktober 2023 - 10:24 WIB

Bahas Sukseskan Pemilu Forkopimda Gelar Rakor Bersama Forkopimcam Bandar Huluan

18 September 2023 - 21:01 WIB

Bupati Buka Talk Show Peran Perempuan Dalam Mewujudkan Kerukunan di Kabupaten Labuhanbatu

14 September 2023 - 09:17 WIB

Malam Perpisahan Sahabat BNN Berlangsung Khidmat

14 September 2023 - 09:09 WIB

Trending di Berita Daerah