Eka Putra Zakran, SH, MH.
Medan, NET24JAM.ID – Pertimbangan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam menetapkan vonis hukum terhadap Juliari Bartubara dinilai seperti dagelan hukum dan bersifat mengada-ada. Hal itu disampaikan Eka Putra Zakran, SH MH alias Epza Praktisi Hukum dan Pengamat Sosial Sumatera Utara, pada Rabu (25/8/2021).
Putusan majelis hakim yang menyidangkan perkara Juliari itu pantas dipertanyakan, karena alasannya sangat mengada-ada seperti sebuah dagelan hukum saja pertimbangan majelis hakim itu, ujar Epza.
Potret penegakan supremasi hukum terkait tindak pidana korupsi bansos tanpaknya semakin kabur dan buram. Hal itu berkaca dari beberapa kasus bansos yang santer menghiasi ruang publik. Salah satu yang palin santer ya kasus Juliari ini.
Beberapa pekan yang lalu dalam pledoinya pun Juliari memohon kepada majelis hakim agar dibebaskan dari segala tuntutan. Kan, aneh sekali permintaannya itu, sudah bersalah kok merasa semacam berada diposisi korban pula? Aneh bin ajaib itu namanya.
Mestinya selbagai mantan pejabat publik dia bertobat, sadar dan mengakui atas kesalahan yang telah dibuatnya, bukan mintak-mintak supaya dibebaskan, seolah-olah mau membangun framing kalau posisinya adalah sebagai korban.
Bicara penegakan hukum dan keadialan (law inforcement), sejatinya para pelaku tindak pidana korupsi, terlebih dana bansos covid-19, dapat dijatuhi pidana mati sesuai pasal 2 ayat (2) UU Tipikor. Namun, ketentuan ini dalam praktik belum ada yurisprudensinya. Terkait hal itu perlu kesadaran kolektif dari aparat penegak hukum tipikor, bahwa korupsi adalah “common enemy”, extra ordinary cryme, yang penyelesaiannya hanya bisa diberantas dengan cara-cara yang ordinary pula, termasuk penjatuhan sanksi pidana mati.
Bicara logika hukum bagaimana tidak pantas Juliari di vonis 12 tahun penjara, seharusnya kalau tak hukuman mati, seumur hidup dong, karena dampak korupsi bansos ini sangat sistemik. Sebab itu, dirinya disangkakan melanggar Pasal 12 huruf (a) atau Pasal 12 huruf (b) atau Pasal 11 UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Siapa pun kita, saya pikir semuanya sepakat dengan apa yang pernah disampaikan oleh Ketua KPK, Firli Bahuri bahwa soal tuntutan hukuman mati bagi pelaku korupsi anggaran penanganan covid-19, karena memang tindak pidana korupsi di masa bencana atau pandemi dapat diancam hukuman mati.
Ancaman hukuman mati bagi pelaku korupsi di atur dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tidak pidana korupsi. Beleid pasal itu berbunyi: Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Di sisi lain, Presiden Joko Widodo juga pernah menyampaikan bahwa dirinya akan menghormati proses hukum yang sedanf dilakukan oleh KPK dan tidak akan melindungi siapapun yang terlibat korupsi. Artinya dalam hal ini pemerintah konsiten mendukung KPK dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Nah, dari beberapa dalil atau dasar hukum sebagaimana yang diuraikan diatas, maka sudah cukup menjadi pertimbangan bagi hakim untuk menjatuhkan sanksi hukum yang berat bagi Juliari. Tapi anehnya, vonis terhadap Juliari hanya 12 tahun penjara dengan pertimbangan bahwa dirinya dinilai hakim telah menderita akibat cacian dan hinaan masyarakat.
Pertimbangan tersebut hemat penulis gak masuk akal, pokoknya gak logis lah. Kalau soal cacian, ataupun makian publik itu bagian dari resiko atau sering disebut juga itu sanksi sosial namaya, jadi jangan baperlah, jangan di bangun framing menderita dan sebagainya, tutup Epza Anggota DPC Peradi Medan, mantan Ketua Pemuda Muhammadiyah Medan Periode 2014-2018.
(Red/Pers Rilis)