Menu

Mode Gelap
Puluhan Tim Sepak Bola Antusias Ikuti Turnamen Solidaritas Cup U-13 Polda Sumut Diminta Tindak Lanjuti Kasus Dugaan Perampasan Lahan di Belawan KBPP Polri dan PP Polri Deklarasi Dukung Ganjar-Mahfud di Pilpres 2024 Tersangka Oknum PNS? Polres Sergai Berhasil Ungkap Penipuan Bekerja di PTPN III Kebun Tanah Raja M4il Hsb Sukses Buat Simalungun Daerah Bebas Judi Togel Hingga Kini Tak Tersentuh Hukum

Tak Berkategori · 22 Jun 2021 11:23 WIB · waktu baca : ·

Politik Identitas dan Identitas Politik


 Politik Identitas dan Identitas Politik Perbesar

Asep Salahudin Rektor IAILM Suryalaya Tasikmalaya dan Ketua Lakpesdam PWNU Jawa Barat.

NET24JAM.ID – Tentu saja berbeda antara identitas politik (political identity) dengan politik identitas (political of identity). Yang pertama merujuk pada keadaan subjek pada sebuah komunitas politik, dengan beralaskan identitas untuk menegaskan jati diri dan memperjuangkan kepentingan bersama yang diyakininya bisa membawa perbaikan bagi publik.

Sementara itu, politik identitas sebagaimana ditulis Agnes Heller adalah gerakan politik yang perhatian utamanya diacukan pada perbedaan sebagai suatu kategori politik. Perbedaan sebagai garis penegas untuk membuat blok yang berhadapan satu dengan lainnya.

Pakar politik dari Universitas Duke, Donald L Morowitz (1999), menjelaskan politik identitas adalah pemberian distingsi untuk menentukan siapa yang akan disertakan dan siapa yang akan ditolak. 

Politik identitas sebagai siasat untuk mengentalkan garis kawan dan lawan, siapa yang menjadi bagian dariku dan mana yang menjadi kelompokmu.

Cressida Heyes (2007) mendefinisikan politik identitas sebagai penandaan aktivitas politik dalam pengertian yang lebih luas dan teorisasi terhadap ditemukannya pengalaman ketidakadilan yang dialami anggota-anggota dari kelompok-kelompok sosial tertentu.

Politik identitas dianggap penting untuk semakin mengokohkan ‘keakuan’ sekaligus menisbatkan bahwa ‘orang lain’ tidak penting karena tidak terhubung dengan ‘keaslian’, ‘bukan pribumi’, ‘tidak seagama’, dan lain sebagainya. 

Politik identitas menjadi jalan efektif dalam memobilisasi besar-besaran mereka yang dipandang sehaluan demi meraih keuntungan politik dan ekonomi. 

Baca Juga:  KNPI Sumut dan KNPI Kecamatan Medan Belawan Gelar Sebar Qurban Idul Adha 1442 H

Sering kali dijadikan sebagai pemanipulasi kesadaran dalam meraup politik elektoral. Parsudi Suparlan memaknai politik identitas harus dilekatkan pada konsep identitas itu sendiri, atau disebut juga sebagai jati diri. 

Menurutnya, identitas atau jati diri adalah pengakuan terhadap seorang individu atau suatu kelompok tertentu yang dikaitkan dengan serangkaian ciri-ciri tertentu yang menjadi satu kesatuan menyeluruh yang menandainya masuk satu kelompok atau golongan tertentu (2004). 

Dari mana identitas itu berasal? Minimal tiga pintu masuk yang menjadi sumur identitas yang dilekatkan pada politik. 

Pertama, diperoleh secara alamiah begitu saja dan langsung menempel pada seseorang atau sebuah kelompok (primordialisme). 

Kedua, identitas yang dibentuk secara sosial dan sengaja dikonstruksi untuk sebuah kepentingan (konstruktivisme).

Ketiga, identitas yang direkayasa dijadikan sebagai alat kekuasaan untuk melanggengkan motif para elite (instrumentalisme).

Dalam konteks lebih luas ‘identitas’ itu, biasanya dibelah dalam dua kategori utama. 

Pertama, identitas sosial dan kedua, identitas politik. Identitas sosial meliputi identitas keagamaan, kelas, ras, etnik, gender, dan seksualitas, sedangkan identitas politik meliputi nasionalitas dan kewarganegaraan. 

Dalam latar keindonesiaan, sejak Indonesia dirumuskan terutama oleh BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia/Dokuritsu Junbii Chosakai) sampai hari ini, identitas yang sering kali mengharu biru dan terus melakukan kontestasi, negosiasi, dan terkadang konfrontasi ialah identitas keagamaan dan nasionalisme. 

Sebuah kategori yang tidak sepenuhnya menggambarkan realitas, tetapi selalu tampil ke permukaan, tentu saja, dengan banyak kepentingan di belakangnya. 

Baca Juga:  P3KS Bersama Lanud Suwondo, Pemkot Medan dan PLN UIKSBU Giat Vaksinasi Dosis 2

Dialektika kelahiran Pancasila mulai 1 Juni 1945, 22 Juni 1945 yang melahirkan Piagam Jakarta, sampai kemudian disahkan PPKI (Komite Persiapan Kemerdekaan Indonesia), pada 18 Agustus 1945, mencerminkan upaya bagaimana para pendiri bangsa itu melakukan percakapan yang panjang dalam upaya menempatkan secara tepat agama pada ruang publik kenegaraan, di satu sisi, dan di sisi lain bagaimana nasionalisme yang menjadi roh kebangsaan tidak kemudian menganulir keberadaan agama.

Saya kira, disepakatinya Pancasila sebagai falsafah negara harus dibaca sebagai jalan tengah untuk menjembatani antara kutub identitas agama dan identitas nasionalisme. 

Atau, dalam istilah Bung Karno “…nasionalisme di dalam kelebaran dan keluasannya, mengasih tempat cinta pada lain bangsa, sebagai lebar dan luasnya udara, yang mengasih tempat pada segenap sesuatu, yang perlu untuk hidupnya, segala hal yang hidup … nasionalisme yang membuat kita menjadi ‘perkakasnya Tuhan’ dan membuat kita menjadi ‘hidup dalam roh’ …”

Soekarno menempatkan agama (Islam) pada kedalaman sumur spiritualisme (api) dan nasionalisme sebagai alas negara tidak semestinya mengurus salah satu agama saja, sebagaimana agama menjadi tidak tepat kalau sampai melakukan intervensi terhadap urusan profan negara. Kata Bung Karno, “. . . Agama itu perlu dimerdekakan dari asuhannya supaya menjadi subur. Kalau Islam terancam bahaya pengaruhnya di atas rakyat Turki, maka itu bukanlah karena tidak diurus pemerintah, tetapi justru diurus oleh pemerintah. Umat Islam terikat kaki-tangannya dengan rantai kepada politiknya pemerintahan. Hal ini adalah suatu halangan besar sekali buat kesuburan Islam di Turki, dan bukan saja di Turki, tetapi di mana-mana saja, karena pemerintah campur tangan di dalam urusan agama, di situ menjadikan ia satu halangan besar yang tak dapat dienyahkan.” 

Baca Juga:  Panglima TNI dan Kapolri Kunker di Sumut, Polres Madina Gelar Vaksinasi Massal

Untuk kebaikan bersama tentu, baik identitas sosial ataupun identitas politik dibangkitkan kembali bukan untuk menciptakan biopolitik yang ekslusif. 

Namun, justru sebaliknya, politik identitas itu harus digeser menjadi identitas politik yang produktif dan mengarah ke upaya perwujudan masyarakat sipil yang berkeadaban.

Keragaman agama, budaya, dan etnik menjadi alasan utama untuk memperkaya keindonesiaan yang heterogen. Suku, agama, rasa, dan antargolongan (SARA) sebagai fakta sosial yang semestinya menjadi akar yang kian mengukuhkan kenusantaraan. 

Politik identitas tidak berbahaya selama semua berangkat dari semangat integrasi bangsa dan menguatkan sendi-sendi bernegara, dengan Pancasila hadir sebagai ideologi yang menjadi titik temu, titik tumpu, dan titik tujunya.

Menjadi menarik hasil temuan riset Founding Fathers House (FFH) dan Surabaya Survey Center (SSC) bahwa mayoritas publik tidak setuju menjadikan isu SARA sebagai amunisi dalam kontestasi politik pilkada, pilgub, dan pilpres. Sebuah temuan yang kian menegaskan masyarakat yang semakin dewasa dalam melihat peristiwa politik lengkap dengan dinamika yang mengitarinya.


Sumber : Media Indonesia

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Paskas Ajak Masyarakat Kota Tebing Tinggi Untuk Bersedekah

27 November 2023 - 20:03 WIB

BNN Pinjam Pakai Gedung TC Sosial Untuk Tempat Rehabilitasi Penyalahgunaan Narkoba

5 Oktober 2023 - 11:25 WIB

Cabuli Anak Dibawah Umur Warga Naga Kesiangan Di Jemput Polisi Tebing Tinggi

5 Oktober 2023 - 10:24 WIB

Bahas Sukseskan Pemilu Forkopimda Gelar Rakor Bersama Forkopimcam Bandar Huluan

18 September 2023 - 21:01 WIB

Bupati Buka Talk Show Peran Perempuan Dalam Mewujudkan Kerukunan di Kabupaten Labuhanbatu

14 September 2023 - 09:17 WIB

Malam Perpisahan Sahabat BNN Berlangsung Khidmat

14 September 2023 - 09:09 WIB

Trending di Berita Daerah