Eka Putra Zakran, SH., MH.
Medan, NET24JAM.ID – Ditetapkannya lima orang taruna Politeknik Ilmu Pelayaran (PIP) Semarang, Jawa Tengah sebagai tersangka atas penganiayaan yang menyebabkan tewasnya Zidan Muhammad Faza (21) selaku Korban kekerasan oleh kakak seniornya diapresiasi pengamat hukum dan sosial Eka Putra Zakran, SH., MH. Hal itu disampaikan Epza pada Sabtu (12/9/2021) di Medan.
“Saya mengapresiasi langkah cepat pihak kepolisian dalam hal ini penyidik Polrestabes Semarang yang telah berhasil mengungkap fakta hukum secara terang benderang terkait tewasnya Zidan selaku korban kekerasan kakak kelasnya,” ujar pria yang akrab disapa Epza ini.
Menurutnya, apa yang disampaikan oleh Kapolrestabes Semarang Kombes Pol. Irwan Anwar mengenai fakta hukum yang terungkap oleh penyidik sangat layak diapresiasi. Penyidik berhasil mengungkap fakta dengan seterang-terangnya.
Awalnya penyidik merasa ada kejanggalan atau keganjilan dalam perkara ini. Dari laporan awal penyebab kematian Zidan akibat laka lantas antara Zidan dan Chaisar. Chaisar hendak mencoba menggiring bahwa pelaku dalam perkara ini hanya dia sendiri, namun polisi berhasil mengungkap fakta, ternyata pelakunya lima orang.
Informasi awal yang didapati Polisi memang simpang siur, namun menjadi terang-benderang setelah penyidik mendapat keterangan dari warga di sekitar Tempat Kejadian Perkara (TKP) dan rekaman CCTV rumah sakit.
Dari keterangan yang dihimpun polisi ternyata korban dianiaya di Mes Indo Raya, di daerah genuk krajan, Semarang. Jadi kesimpulannya Zidan tewas bukan karena kecelakaan lalu lintas, tapi karena tindak kekerasan berupa pemukulan atau penganiayaan oleh lima kakak seniornya.
“Nah, muncul pertanyaan mengapa di lembaga pendidikan kita masih ada model perpeloncoan dengan kekerasan? Hal ini tentu menjadi sesuatu yang ironis dan memprihatinkan,” ketusnya.
“Hemat saya tidak penting model perpeloncoan ada dalam lembaga pendidikan. Harus dilakukan evaluasi mendalam dan pengawasan ekstra terhadap lembaga-lembaga pendidikan yang masih menerapkan model perpeloncoan dengan kekerasan ini,” tuturnya lagi.
Epza berharap pihak kampus dalam hal ini pimpinan PIP semestinya juga bertanggung jawab. Sebenarnya budaya kekerasan di lembaga pendidikan tidak tidak perlu dikembangkan, sebab yang perlu diisi dan diasah itu adalah otak, bukan otot.
Melihat peristiwa ini, apalah artinya sekolah buat anak didik atau siswa yang didaftarkan oleh pihak keluarganya kalau ternyata anak yang mereka sayangi harus meregang nyawa. Gak ada artinya itu, yang ada hanyalah kekecewaan, kekesalan dan penderitaan.
“Niat bersekolah itu kan mau menuntut ilmu, biar pintar, biar cerdas, memiliki wawasan dan budi pekerti yang baik, bukan untuk disiksa dan dianiaya dengan cara-cara kekerasan,” tegasnya.
Ia juga meminta agar pihak-pihak terkait supaya dapat merubah sistem dan polarisasi dari model yang keras menjadi lebih lembut dan humanis (berprikemanusian), berkeadaban dan berkebudayaan.
“Budaya tendang-tendang atau pukul-pukul fisik sudah gak zaman lagi lah, lembaga pendidikan harus merubah mindset. Harus diputus mata rantainya itu, sehingga yang senior tidak lagi melakukan semacam ajang balas dendam terhadap juniornya,” Epza menyebutkan.
Dalam hal ini, adapun kelima pelaku penganiayaan tersebut diantaranya, Caesar Richardo Bintang Samudra Tampubolon, Aris Riyanto, Andre Arsprilla Arief, Albert Jonathan Ompu Sungu dan Budi Darmawan.
“Harapannya cukup peristiwa ini yang terakhir, kedepan jangan ada lagi Zidan-Zidan lain yang tewas di lembaga penyelenggara pendidikan oleh para seniornya, baik itu di lembaga pendidikan swasta maupun di pemerintahan, tutup Epza Alumni Magister Hukum Kesehatan UNPAB Medan.
(Ridwan)