Eka Putra Zakran SH MH
Medan, NET24JAM.ID – Kebakaran yang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Klas 1 Tangerang, tepatnya di Blok C yang dihuni oleh narapidana kasus narkoba berakibat meninggalnya 41 korban jiwa dinilai sebagai suatu kegagalan dalam konteks perawatan dan pemeliharaan Lapas.
Hal ini disampaikan pengamat hukum dan sosial Sumut Eka Putra Zakran, SH MH kepada awak media pada Kamis, (9/9/2021) di Medan.
Menurutnya, jika benar penyebab kebakaran di Lapas Tangerang Banten akibat jaringan listrik seperti yang disampaikan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna Louly kepada media, tentu ini sangat kita disesalkan.
“Peristiwa kebakaran yang menelan banyak korban jiwa ini merupakan suatu kegagalan dalam konteks perawatan dan pemeliharaan lapas,” kata Epza.
Kabarnya beredar banyak sekali korban jiwa dalam peristiwa kebakaran ini, diantaranya 41 nyawa melayang, 8 luka berat dan 31 luka ringan. Terus bagaimana pertanggungjawaban hukum terhadap 41 korban meninggal tersebut?
“Hemat saya bukan hanya soal korsleting atau arus pendek listrik tapi juga termasuk soal over kapasitas. Bahkan lebih parahnya lantai dua roboh, sehingga menimpa banyak para penghuni Lapas,” sebutnya.
“Kenapa persoalan ini penting untuk disoroti? karena banyak korban meninggal. Di samping itu kebetulan judul Tesis saya adalah tentang Perlindungan Kesehatan Terhadap Narapidana (Studi di Lapas Klas 1 Medan). Jadi sedikit banyak saya sangat prihatin atas peristiwa yang menimpa para napi di Lapas Tangerang Banten tersebut,” ujarnya menambahkan.
Epza menegaskan bahwa Perlindungan Kesehatan terhadap narapidana merupakan sesuatu hal yang sangat penting, karena menyangkut hak dasar hidup manusia.
Kesehatan merupakan Hak Asasi Manusia (HAM) dan juga merupakan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia. Hal ini terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945, termasuk didalamnya jaminan kesehatan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP).
Selain itu, masih kata Epza, di masa pandemi Covid-19 ini setiap orang harus patuh pada protokol kesehatan yang telah ditetapkan pemerintah terkait wabah Covid-19 sebagai bencana non-alam yang telah diumumkan secara nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non Alam Penyebaran Covid-19 sebagai Bencana Nasional.
“Pesan tersirat dari penetapan tersebut bahwa keselamatan manusia menjadi hukum tertinggi. Meminjam istilah Cicero filsuf kebangsaan Italia, solus suprema lex esto, keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi bagi suatu negara,” tuturnya.
Epza memaparkan, akhir-akhir ini salah satu isu nasional yang ramai diperbincangkan adalah tentang pembebasan narapidana di tengah kondisi Indonesia yang sedang mengalami pandemi Covid-19 yang tujuan utamanya adalah untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19 dan mengurangi jumlah over kapasitas di dalam Lapas.
Pro dan kontra menyeruak di berbagai kalangan masyarakat pasca Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H. Laoly mengumumkan kebijakan pembebasan tersebut.
Berbagai opini dan asumsi kemudian ramai menghiasi media sosial, mulai dari penolakan pembebasan atas dasar kriteria tertentu, hingga ketakutan masyarakat akan tindak pidana baru yang berpotensi dilakukan para narapidana pasca dibebaskan tersebut.
“Tapi entah mengapa dari sejumlah pemberitaan media, justru Lapas Klas 1 Tangerang Banten ini over kapasitas. Nah, kondisi seperti ini tentu sangat kita sesalkan,” Epza menandaskan.
(Ridwan)