Medan, NET24JAM.ID – Aksi puluhan pedagang kopi dari sejumlah coffee shop di Kota Medan yang memilih turun kejalan untuk menjual kopi racikan mereka kepada para pengguna jalan di Kota Medan, pada Senin (19/7/2021) lalu, seperti dilansir oleh inews.sumut.id mendapat sorotan dari praktisi hukum dan pengamat sosial, Eka Putra Zakran, SH, MH, alias Epza.
Apa yang telah dilakukan oleh puluhan pedagang kopi dari sejumlah coffee shop adalah sesuatu yang wajar. Itulah bentuk aspirasi sebagian masyarakat yang harus disahuti oleh pemerintah.
“Wajar dong para pedagang kopi tersebut melakukan aksi turun kejalan, karena pastinya mereka terdampak atas penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat yang diterapkan oleh Pemko Medan sejak 12 Juli 2021 yang lalu,” ujar Epza, Jumat (23/7/2021).
Menurutnya, hal ini dampak dari PPKM Darurat yang kebijakannya dinilai sangat merugikan bagi masyarakat dan pengusaha.
“Sebenarnya yang terdampak akibat penetapan PPKM itu bukan hanya pedagang kopi, tapi pedagang lainnya juga pasti terdampak,” jelas Epza.
“Saya berjalan di lapangan, banyak sekali keluhan dari pedagang kecil akibat penerapan PPKM Darurat ini. Belum lagi, awal dimulainya penerapan PPKM Darurat kemarin ada yang sempat viral di media seorang pedagang kopi, yaitu Rakes warga Kota Medan yang tidak terima kedai kopinya diminta petugas untuk di tutup tanpa memberi ganti rugi,” ujarnya menambahkan.
Seperti halnya pada kasus Rakes, Epza berpendapat, pengusaha warung kopi di Medan tidak sepantasnya aparat memberi sanksi hukum kepadanya, karena apa yang disampaikan Rakes itu ada benarnya. Kalau warung kopi ditutup tanpa solusi, siapa yang akan membayar uang sekolah, uang raport anak, uang kontrak rumah, uang belanja dapur dan kebutuhan dasar lainnya.
“Nah seharusnya aparat mendengar dan memberi edukasi secara humanis. Jangan bak pepatah, sudah lah jatuh, ditimpa tangga pula. Kan sakit kali itu,” tuturnya.
Bukan hanya itu saja, masih kata Epza, tak jarang masyarakat mengeluhkan tentang para petugas PPKM Darurat yang dinilai salah menerjemahkan tugas-tugasnya.
“Hal itu keluar dari SOP, ada yang main kasar, arogan. Kalau mau melakukan penindakan, harus jeli dan hati-hati, bukan usaha yang ditutup, tapi kerumunannya yang dibubarkan, jika memang ada kerumunan. Jika sudah jaga jarak (fisical distancing), hemat saya gak ada masalah dong,” sebutnya.
Bahkan lebih parahnya lagi ada yang sampai melakukan tindak kriminal seperti sekretaris Satpol PP Gowa, Sulsel yang sekonyong-konyong melakukan tamparan terhadap seorang ibu hamil. Nah, ini perlu pendidikan yang lebih humanis kepada para petugas di lapangan, sebagaimana himbauan yang disampaikan Menteri Dalam negeri Muhammad Tito Karnavian.
Penutupan atau penyekatan jalan, juga berdampak bagi para pengguna jalan. Banyak masyarakat pengguna jalan yang harus mutar-mutar akibat banyaknya penyekatan jalan oleh petugas dan pada malam harinya lampu kota dimatikan, ini kan dampaknya bahaya, bisa meningkat kejahatan nanti, khususnya begal, perampok dan kejahatan lainnya.
Di luar itu yang menjadi sebuah kekonyolan dari kebijakan penerapan PPKM Darurat ini adalah tidak adanya solusi konkrit yang diberikan pemerintah kepada masyarakat sebagai kompensasi dan bentuk perlindungan dari segi jaminan kebutuhan masyarakat.
Makanya PPKM Darurat ini sebenarnya kebijakna ambigu yang tidak punya solusi. Rakyat dibiarkan saja menderita dari dampak PPKM Darurat ini. Harusnya sih yang diterapkan adalah lockdown. Hal ini sesuai dengan maksud UU No. 2018 tentang Kekarantinaan kesehatan. Pasal 55 UU ini memberi jaminan kebutuhan hidup dasar masyarakat sebagai berikut:
Ayat (1) Selama dalam Karantina Wilayah, kebutuhan hidip dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat.
Ayat (2) Tanggung jawab pemerintah pusat dalam penyelenggaraan Karantina Wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan melibatkan pemetintah daerah dan pihak yang terkait.
“Nah, selama PPKM Darurat ini lihat apa yang terjadi. Mana ada jaminan hidup dasar yang diberikan Pemko Medan. Jangankan jaminan untuk hewan ternak, untuk manusia saja nonsen. Pokoknya dampak dari PPKM Darurat ini masyarakat yang tanggung sendiri,” ungkap Epza.
Pertanyaan yang kemudian muncul, memangnya setelah jalan di sekat, warung kopi dan kedai nasi ditutup seperti penerapan PPKM Darurat dua pekan ini pandemi Covid-19 ini hilang? Belum tentu kan?, bahkan pusat katanya akan melanjutkan lagi dengan ganti nama dari PPKM Darurat ke level 1-4.
“Kesimpulannya kalau tidak ada solusi mau diganti nama apapun rakyat kecil yang akan menderita. Lama-lama justru nanti masyarakat bukan mati karena Covid-19, tapi mati kelaparan,” tandasnya.
(Red/Pers Rilis)