NET24JAM.ID – Di awal bulan Oktober 2023, konflik Israel-Palestina kembali berkobar, menimbulkan dampak ekonomi yang besar, baik di negara-negara yang diperangi maupun melalui jaringan rumit perekonomian global.
Latar belakang konflik ini telah menimbulkan gelombang ketidakpastian dan ketidakstabilan yang melampaui batas negara.
Artikel ini menelusuri inti permasalahan ekonomi, dengan membedah dampak beragam dari konflik Israel-Palestina.
Selain itu, hal ini juga menyoroti gejolak nilai tukar Rupiah yang disebabkan oleh aliran modal asing yang berubah-ubah, dan meletakkan dasar bagi peran transformasional transparansi data dalam mengatasi masa-masa sulit ini.
Berikutnya, kami mengundang anda untuk memulai perjalanan eksplorasi ekonomi, di mana setiap wawasan yang ditemukan menjanjikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai isu-isu ekonomi paling mendesak di dunia, saat ini dan seterusnya.
Dampak Ekonomi dari Konflik Israel-Palestina
Konflik Israel-Palestina mempunyai dampak yang luas, terutama terhadap pasokan minyak dan gas global.
Produksi minyak mentah dunia diperkirakan turun hingga 1 juta barel per hari jika konflik meluas ke Iran, produsen minyak terbesar OPEC. Harga minyak global bisa naik sekitar $6 per barel jika produksi Iran terganggu.
Selain itu, distribusi gas dari ladang Tamar lepas pantai Israel ke Eropa juga terancam, sementara keterlibatan Iran dan Amerika Serikat akan meningkatkan risiko di sekitar Selat Hormuz yang penting secara strategis, yang merupakan jalur sepertiga pengiriman minyak dunia.
Jika Selat Hormuz diblokir karena konflik, harga minyak bisa meroket hingga $150 per barel, terutama jika konflik menyebar dan melibatkan negara-negara Teluk lainnya.
Harga minyak mentah Brent global telah meningkat sekitar 8 persen sejak perang dimulai, mencapai $91 per barel.
Peningkatan ini lebih banyak didorong oleh spekulasi dan ketidakpastian geopolitik di Timur Tengah, meski secara fundamental pasokan minyak global masih surplus.
Hal ini akan berdampak signifikan terhadap perekonomian global, mengingat lebih dari 30 persen produksi minyak mentah global melewati Selat Hormuz setiap hari.
Gangguan terhadap Selat tersebut akan sangat berdampak pada negara-negara pengimpor minyak utama seperti Tiongkok, India, Jepang, dan Korea Selatan.
Dampak dari konflik ini tidak hanya terbatas pada pasokan energi, namun juga berdampak luas terhadap pertumbuhan ekonomi global.
Pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan akan melambat sekitar 0,1-1 persen jika konflik meningkat, dan inflasi global akan meningkat sekitar 0,1-1,2 poin persentase.
Melemahnya perekonomian global akan berdampak pada volume perdagangan internasional dan berpotensi menurunkan pertumbuhan di berbagai negara.
Selain itu, lonjakan harga minyak mentah global akan menekan daya beli dan konsumsi rumah tangga di negara-negara pengimpor minyak, yang pada akhirnya akan menghambat pemulihan ekonomi pascapandemi.
Dampak Terhadap Indonesia
Sebagai negara berkembang yang sangat bergantung pada impor minyak mentah (net importer) dan bahan bakar bersubsidi, Indonesia akan merasakan dampak langsung dari konflik ini.
Kenaikan harga minyak dunia akan meningkatkan biaya impor bahan bakar minyak (BBM) bagi Indonesia.
Pada tahun 2022 lalu, total impor minyak mentah dan bahan bakar Indonesia mencapai $26 miliar. Jika harga minyak terus melonjak tajam hingga $100-120 per barel, beban impor bahan bakar Indonesia akan membengkak secara signifikan.
Harga bahan bakar bersubsidi seperti Pertalite dan Solar berpotensi naik signifikan jika mengikuti tren kenaikan minyak global.
Perhitungan memperkirakan setiap kenaikan harga Pertalite sebesar 10 persen diperkirakan akan menambah laju inflasi Indonesia sebesar 0,27 persen, sedangkan kenaikan harga Solar sebesar 10 persen akan menambah tekanan inflasi sebesar 0,05 persen. Hal ini tentunya akan mempengaruhi tingkat inflasi Indonesia dan daya beli masyarakat.
Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS juga melemah 0,64 persen sejak perang dimulai hingga mencapai Rp15.138 per USD.
Depresiasi ini didorong oleh arus keluar modal karena investor global beralih ke aset-aset safe haven seperti emas dan obligasi AS.
Nilai tukar rupiah yang melemah akan membuat impor dari luar negeri menjadi lebih mahal dalam nilai rupiah. Hal ini menambah tekanan inflasi di Indonesia, terutama pada barang-barang impor seperti elektronik, otomotif, dan lain-lain.
Secara keseluruhan, dampak ekonomi dari konflik Israel-Palestina terhadap Indonesia masih terbatas selama konflik tersebut tidak meluas ke negara-negara penghasil minyak utama.
Namun demikian, kewaspadaan dan kesiapan mengambil kebijakan untuk meredam potensi inflasi dan volatilitas mata uang tetap diperlukan. Stabilitas makroekonomi tetap menjadi kunci di tengah ketidakpastian geopolitik global.
Rekomendasi Kebijakan Untuk Merespon Konflik Israel-Palestina
Seperti banyak negara lainnya, Indonesia menghadapi tantangan untuk beradaptasi terhadap perubahan ekonomi yang terjadi.
Berikut adalah beberapa kebijakan yang direkomendasikan untuk memitigasi dampak konflik Israel-Palestina terhadap perekonomian, antara lain diversifikasi pasar ekspor, peningkatan pertumbuhan ekonomi dalam negeri, investasi infrastruktur, perlindungan nilai tukar Rupiah, dan peningkatan ketahanan perekonomian.
Hal tersebut bertujuan untuk memperkuat stabilitas perekonomian Indonesia dan mengurangi kerentanan terhadap guncangan eksternal.
Menjaga Nilai Tukar Rupiah
Konflik Israel-Palestina telah menyebabkan fluktuasi harga minyak dunia yang dapat berdampak buruk terhadap nilai tukar Rupiah.
Upaya menjaga stabilitas Rupiah harus fokus pada akumulasi cadangan devisa yang cukup dan penerapan kebijakan moneter yang hati-hati.
Pendekatan ini akan memitigasi paparan Rupiah terhadap guncangan perekonomian global, memastikan stabilitasnya di tengah ketidakpastian perekonomian global.
Mempertahankan Subsidi dan Kompensasi BBM
Hingga taraf tertentu, pemberian subsidi dan kompensasi kepada Pertamina perlu tetap dipertahankan meski harga minyak dunia meningkat.
Hal ini diperlukan agar kenaikan harga minyak dunia tidak serta merta berdampak pada harga bahan bakar domestik sehingga mengurangi tekanan inflasi. Anggaran subsidi dan kompensasi BBM perlu dipertahankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023.
Meningkatkan Koordinasi Kebijakan Moneter dan Fiskal
Koordinasi antara otoritas moneter dan otoritas fiskal perlu ditingkatkan untuk meredam tekanan inflasi dan volatilitas nilai tukar melalui perpaduan kebijakan moneter (suku bunga) dan kebijakan fiskal (subsidi bahan bakar, belanja stimulus). Koordinasi yang baik akan mendukung efektivitas kebijakan.
Diversifikasi Pasar Ekspor
Konflik Israel-Palestina telah memberikan tekanan pada perdagangan internasional, yang berpotensi mempengaruhi pasar ekspor Indonesia.
Untuk memitigasi risiko ini, Indonesia perlu mengurangi ketergantungan pada pasar ekspor yang terkena dampak langsung konflik.
Diversifikasi pasar ekspor akan membangun ketahanan perekonomian dengan mengurangi ketergantungan pada sejumlah mitra dagang.
Dengan memperluas jangkauan pasar ekspor, Indonesia dapat memitigasi dampak guncangan ekonomi eksternal.
Perkuat Ketahanan dan Pertumbuhan Ekonomi dalam Negeri
Pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan sangat penting bagi pembangunan Indonesia. Untuk mencapai hal tersebut, diperlukan stimulus ekonomi yang memacu investasi dan menggairahkan aktivitas perekonomian dalam negeri.
Kebijakan fiskal yang mendukung pertumbuhan, seperti pengurangan pajak bagi dunia usaha, insentif investasi, dan belanja pemerintah yang lebih tinggi pada sektor-sektor yang memiliki multiplier tinggi harus diterapkan.
Langkah-langkah ini dapat memperkuat perekonomian domestik, menciptakan lapangan kerja, dan mendorong pertumbuhan belanja konsumen.
Perkembangan Nilai Tukar Rupiah
Pada saat yang sama, nilai tukar rupiah juga menghadapi gejolak di tengah aliran modal yang berubah-ubah.
Sebuah studi menunjukkan melalui analisis regresi bahwa surplus perdagangan dan investasi asing langsung (FDI) secara statistik tidak signifikan dalam meningkatkan cadangan devisa.
Sebaliknya, arus masuk obligasi pemerintah mempunyai korelasi positif yang signifikan secara statistik dengan cadangan devisa.
Artinya, klaim bahwa surplus perdagangan dan penanaman modal asing merupakan faktor utama yang menentukan stabilitas nilai tukar rupiah perlu dikaji ulang validitasnya.
Apalagi, meski surplus perdagangan tercatat positif selama 35 bulan berturut-turut, BI tetap menerbitkan instrumen baru seperti deposito berjangka devisa hasil ekspor dan surat berharga bank sentral berdenominasi rupiah untuk menarik devisa.
Sederhananya adalah surplus perdagangan hanya mencatat nilai barang yang diekspor, bukan sebenarnya hasil devisa yang dipulangkan ke dalam negeri.
Eksportir masih menyimpan sebagian besar pendapatan ekspornya di luar negeri sehingga tidak berkontribusi maksimal terhadap akumulasi cadangan devisa.
Misalnya, nilai ekspor batu bara mencapai $32 miliar pada Januari-September 2023. Namun, deposito berjangka devisa hasil ekspor yang disalurkan melalui BI hanya berkisar 2 persen dari total nilai ekspor.
Artinya, hasil ekspor tidak dipulangkan dan disimpan di luar negeri, bukan di dalam negeri.
Perbandingan dengan negara pengekspor sumber daya alam lainnya menunjukkan, semakin rendah kontribusi ekspor sumber daya alam terhadap total ekspor, maka cadangan devisanya semakin besar.
Rusia dengan 85 persen ekspor sumber daya alam, memiliki cadangan devisa sebesar $581 miliar (cakupan impor selama 19 bulan).
Sementara itu, Indonesia dengan 52 persen ekspor sumber daya alam, memiliki cadangan devisa sebesar $135 miliar (cakupan impor selama 6 bulan). Artinya, Rusia lebih efektif dalam memastikan repatriasi hasil ekspor. Hal sebaliknya terjadi di Indonesia.
Lalu, bagaimana eksportir bisa dipaksa memulangkan hasil ekspornya kembali ke Indonesia?
Transparansi Data Sebagai Solusi
Transparansi data dapat menjadi kunci dalam memitigasi risiko fluktuasi nilai tukar rupiah. Publikasikan data nilai dan volume ekspor-impor per perusahaan per komoditas setiap bulannya, untuk mengetahui surplus bersih masing-masing perusahaan dan berapa banyak yang telah dipulangkan kembali dalam mata uang asing.
Transparansi data ini diperlukan karena masyarakat berhak mengetahui cara pengelolaan sumber daya alam sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 33.
Dengan keterbukaan, masyarakat dapat memastikan hasil ekspor dipulangkan untuk memberikan manfaat bagi rakyat. Secara garis besar, masyarakat dapat mendukung BI dalam menjaga cadangan devisa dan memitigasi dampak konflik Israel-Palestina.
Stabilitas nilai tukar dan manfaat perekonomian dapat dinikmati oleh masyarakat Indonesia.
Tanpa repatriasi hasil ekspor, nilai tukar mata uang berpotensi terus melemah dan manfaat ekonomi penuh dari surplus perdagangan tidak dapat dinikmati di dalam negeri.
Transparansi data dapat memaksa kepatuhan perusahaan karena adanya tekanan dari investor dan bank.
Dalam jaringan yang rumit ini, untuk mendorong kepatuhan eksportir, bank juga dapat berperan dengan tidak memberikan kredit (pinjaman) kepada perusahaan yang tidak patuh.
Hal ini perlu dilakukan karena saat ini sanksi terhadap perusahaan yang tidak patuh sebagaimana diatur dalam Peraturan BI Nomor 7 Tahun 2023 hanya berupa denda administratif, sehingga penindakan masih dapat digalakkan.
Dengan adanya transparansi, masyarakat dapat terlibat dalam membantu menopang cadangan devisa sehingga pada akhirnya stabilitas nilai tukar dan manfaat perekonomian dapat dinikmati oleh masyarakat Indonesia.
Kesimpulan
Konflik Israel-Palestina merupakan faktor penting yang memiliki implikasi ekonomi yang luas, yang sangat mempengaruhi dinamika pasokan minyak dan gas global serta stabilitas nilai tukar Rupiah.
Di tengah tantangan perekonomian yang kompleks ini, pentingnya transparansi data muncul sebagai solusi yang menarik.
Pengungkapan data ekspor-impor khusus perusahaan secara terbuka dan komprehensif, yang dikategorikan berdasarkan komoditas, secara rutin setiap bulan tidak hanya berfungsi sebagai sarana pragmatis untuk mengelola dampak ekonomi yang semakin intensif, namun juga menjadi mercusuar akuntabilitas dan keadilan bagi masyarakat Indonesia.
Pendekatan proaktif ini bertujuan untuk menjaga repatriasi pendapatan ekspor, meningkatkan stabilitas ekonomi, dan pada akhirnya membuka jalan bagi pemerataan keuntungan ekonomi di antara masyarakat Indonesia.
Penulis : Ronald Sofyan GS Sipayung.